Selasa, 25 Oktober 2011

kesucian hati

ersyukur adalah menikmati penderitaan sama seperti menikmati kebahagiaan. Mengapa kita harus memilah-milih sesuatu yang diberi oleh Dzat yang sangat menyayangi kita? Tuhan memanggil kita, kadang dengan cara yang meyenangkan hati kita, tapi kita menganggap itu suatu rahmat, hingga kita terlena bahkan lupa dengan kewajiban kita. Akhirnya kita didekatkan dengan Tuhan dengan cara yang menyakitkan. Seperti kehilangan sesuatu yang sangat kita sayangi. Entah itu materi, seseorang yang sangat kita sayangi, atau jabatan serta kekuasaan yang kita banggakan.
Sadarlah bahwa kita, manusia menuruni sifat-sifatnya. Pernahkah kita berfikir bahwa Tuhan itu pencemburu? Tuhan tak pernah mau diduakan dengan apapun. Seperti saya seorang wanita, tak pernah mau diduakan oleh suami saya. Apalagi buat seorang pria. Tapi mengapa kita sering mengkultuskan sesuatu. Tergila-gila pada seseorang sampai hampir bunuh diri. Haus jabatan sampai halalkan segala cara. Pernahkah kita tergila-gila pada Tuhan, sampai ingin bertemu denganNya secepat mungkin?
Saat itu, Tuhan memanggil saya. Dengan memisahkan saya dari suami saya. Begitu sakit hati saya. Dalam pikiran saya saat itu, mengapa saya? Apa salah saya Tuhan? Mengapa Tuhan kejam? Mengapa Tuhan ingin saya meneteskan airmata? Apa yang Tuhan mau dari saya?
Dalam sebulan saya kehilangan 5 kg berat badan. Tidak bisa tidur, makan, apalagi konsentrasi dengan pekerjaan. Betapa saya sangat kehilangan orang yang saya cintai. Betapa sepi tanpa dia. Betapa saya merasa sangat sendiri, padahal Tuhan bersama saya.
Bulan kedua setelah perpisahan saya dengan suami, saya banyak habiskan waktu dengan membaca. Satu yang saya yakini ” BERSAMA KESULITAN PASTI ADA KEMUDAHAN.” Saya jadi rajin mengikuti pengajian dan diskusi keagamaan. Jujur, awalnya hanya untuk lupakan suami dan menerima dengan ikhlas walau terpaksa.
Tapi kemudian, manfaat yang saya rasakan sangat mendalam. Membekas dalam relung hati saya. Doa saya yang tadinya meminta agar Tuhan mengembalikan suami saya yang pergi, kemudian berubah agar diberi kesabaran bila harus kehilangan. Minta diberi kekuatan bila harus sendirian menjalani hidup. Minta keikhlasan atas apa yang Tuhan beri.
Selain doa, ternyata usaha juga perlu. Dengan setia saya menunggu suami, kalau-kalau dia menghubungi saya. Menunjukan kasih sayang saya dengan menanyakan kabarnya. Walau kadang ada rasa tidak percaya bahwa dia akan datang pada saya lagi.
Finally, setelah Tuhan “menyentil” saya, saya tersadar. Betapa selama ini saya mendewakan suami saya. Betapa selama ini, hidup dan pikiran saya hanya untuk dia. Padahal dalam sholat ada doa “sesungguhnya sholatku, hidupku, mati hanya untuk Tuhan semesta alam.”
Dengan kesadaran dan pemahaman baru, saya merasa tenang. Sampai akhirnya suami yang saya cintai datang lagi. Saya tetap menyayanginya, tentu dengan cara yang berbeda
Sedang Tuhan saja pemarah, mengapa suami saya, manusia yang dituruni sifatNya tidak? Kalo Tuhan saja Maha pengampun dan pemberi maaf, mengapa saya, yang manusia tidak memberi maaf?
Terimalah kemarahan dan kasih sayang sebagai satu paket dari yang kita cintai dengan ikhlas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar